Tiga kali sudah Nabi Musa ‘Alaihi Salam mempertanyakan kelakuan Nabi Khidir ‘Alaihi Sallam yang jika dilihat sepintas lalu, sangatlah menyimpang dari norma-norma agama. Maka akibat dari ketidaksabarannya itu, Nabi Musa harus menerima konsekuensi berpisahnya ia dengan Nabi Khidir.
“Inilah saat perpisahan antara saya dengan engkau”. Ungkap Nabi Khidir ‘Alaihi Salam.
Nabi musa pada awalnya hendak menimba ilmu dengan mengikuti kemana Nabi Khidir pergi. Nabi Khidir pun menerima Nabi Musa sebagai muridnya dengan syarat ia harus bersabar dan tidak mempertanyakan apa pun yang dilakukannya. Namun kesepakatan ini dilanggar oleh Nabi Musa hingga tiga kali. Maka pada kali ketiganya itu, habislah sudah kesempatan Nabi Musa untuk mengikuti Nabi Khidir.
Kedua Nabi itu akhirnya berpisah. Bukan perpisahan yang dilandasi kebencian, bukan pula karena adanya dendam, kemarahan dan sakit hati. Perpisahan itu murni karena dipegang teguhnya kesepakatan dan perjanjian antara dua belah pihak. Kedua manusia pilihan Allah itu memutuskan sesuatu setelah tercapai azam dan bertawakal pada Allah.
Nabi Musa tidaklah membenci Nabi Khidir yang memutuskan kebersamaan mereka berdua. Nabi Khidir pun tak menyimpan marah dalam hati karena telah diprotes sebanyak tiga kali oleh muridnya. Bahkan sebelum berpisah, keduanya saling meminta dan memberi nasihat dalam kebaikan dan takwa.
Inilah perpisahan yang dilandasi oleh rasa cinta. Inilah perpisahan yang dilandasi kebenaran dan kemaslahatan masing-masing pihak. Tak ada luka yang tertoreh dalam perpisahan seperti ini. Tiada pula duka nestafa serta air mata yang mengiringi. Perpisahan seperti kisah ini adalah perpisahan yang sangat indah, karena merupakan perpisahan Qur’ani yang diilhami wahyu Illahi Robbi.
Perpisahan yang dijelaskan Robb semesta alam dalam surat Al Kahfi itu harusnya menjadi pedoman kita dalam kehidupan sehari-hari. Andaikata setiap perpisahan berselimutkan pada cinta, maka takkan ada perceraian yang menghembuskan angin derita. Ketidakbersamaan badan tidak akan mengakibatkan ketidak akuran hati. Raga masing-masing boleh berpisah namun jiwa masih bersatu dalam tiap lantunan do’a memohonkan kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat bagi dia yang tidak lagi bersama.
Bisakah umat muslimin berjiwa besar seperti itu? Bisakah diri kita seperti itu?
Jika ya, yakinlah bahwa kebesaran hati seperti itu akan membawa kita menjadi orang yang besar. Orang yang mampu menjadi pengayom bagi mereka yang dipimpinnya. Orang yang mampu tetap mencintai walau raga telah dipisahkan alur kehidupan.