Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, Istri Khalifah Yang Barsahaja

Mujahidah: Fatimah binti Abdul Malik, Istri Khalifah yang Bersahaja

Beruntung Umar bin Abdul Aziz Al-Umawi menikahi Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, sosok perempuan yang nyaris sempurna. Dia cantik, cerdas, keturunan terpandang, kaya raya, serta taat beribadah.

Pasangan ini dikaruniai seorang putra yang diberi nama Abdul Malik bin Umar. Sebagai suami yang bertanggung jawab, Umar berusaha memenuhi keinginan istri dan anaknya. Namun, Fatimah telah memiliki harta dan perhiasan yang melimpah pemberian dari ayahnya. 

Kekayaan keluarga ini menjadi ‘masalah’ ketika Umar yang tidak lain cicit Khalifah Umar bin Khathab ini didaulat sebagai pejabat pemerintah. Dia menyadari sebagai khalifah memiliki beban yang sangat berat, terutama godaan harta.

Karenanya sebelum memegang amanah, dia mengajak Fatimah mengurangi beban hidupnya dengan cara menyerahkan semua harta, berikut perhiasan yang dimiliki Fatimah ke Baitul Mal.

Selanjutnya, Umar mengajukan dua pilihan kepada istrinya. Jika Fatimah setuju dengan usulan tersebut, keluarga ini bisa melanjutkan biduk rumah tangga. Sebaliknya, kata Umar, “Jika kamu tidak setuju dengan usulan ini, maka kita tidak akan pernah lagi bersama dalam satu rumah.”

Tanpa berpikir panjang, Fatimah menyetujui usulan suaminya. Dia menyadari harta yang melimpah hanya menjadi beban bagi suaminya. Lalu dia mengumpulkan harta, dan perhiasannya untuk diserahkan ke Baitul Mal.

Dia ikhlas hidup bersama suaminya sebagai pejabat, namun tidak memiliki harta apa pun. Padahal, saat itu Umar sebagai khalifah besar memimpin Bani Ummayah yang wilayah kekuasaannya sangat luas.

Suami Fatimah ini dibaiat sebagai khalifah setelah shalat Jumat tahun 717 M. Menurut riwayat, kebijakan-kebijakan Umar selalu berpihak kepada masyarakat, dan berhasil memulihkan keadaan negara seperti masa empat khalifah Khulafaur Rasyidin.

Selama menjadi khalifah, gaji Umar sangat minim, hanya dua dirham per hari atau 60 dirham per bulan. Sebagai istri, Fatimah tidak pernah protes, apalagi menuntut lebih penghasilan suaminya. Dia ikhlas dan selalu mendukung suaminya.

Kesederhanaan dan kebijakan Umar membuat banyak kalangan menyematkan ‘gelar’ sebagai Khulafaur Rasyidin kelima.

Sayangnya, kepemimpinan khalifah yang saleh, adil dan sederhana ini tidak berlangsung lama. Kurang dari tiga tahun memimpin Bani Umayah, sang khalifah meninggal dunia dibunuh melalui racun yang diberikan pembantunya.

Ketika Umar bin Abdul Azis meninggal, ia tidak meninggalkan harta apa pun untuk Fatimah dan anaknya.

Sepeninggal Umar, estafet Dinasti Ummayah dilanjutkan oleh saudara Fatimah bernama Yazid bin Abdul Malik.

Saat itu, Yazid menemui Fatimah untuk mengembalikan harta-harta yang disimpan di Baitul Mal. “Umar telah zalim pada hartamu, sekarang aku kembalikan kepadamu. Ambillah!” kata Yazid kepada adiknya.

Bendahara Baitul Mal pun pernah menemui istri Umar bin Abdul Aziz, menjelaskan bahwa perhiasan dan harta milik Fatimah masih utuh tersimpan. “Kami menganggap perhiasan-perhiasan itu sebagai barang titipan yang harus dijaga, dan akan kami kembalikan jika tuan membutuhkan.”

Bendahara Baitul Mal itu akan segera membawa harta perhiasan milik Fatimah, jika pemiliknya ingin menerima kembali hartanya. Nilai perhiasaan milik Fatimah saat itu mencapai jutaan dirham. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran-tawaran itu?

Apalagi suaminya meninggal tanpa warisan yang mencukupi. Bukankah harta yang dititipkan ke Baitul Mal adalah perhiasan milik Fatimah dari ayahnya, maupun pemberian suaminya.

Namun Fatimah menolak semua tawaran itu. “Demi Allah, aku tidak akan mengambilnya kembali. Karena aku patuh kepada suami untuk selamanya. Bukan ketika dia masih hidup aku patuh, lalu setelah meninggal berkhianat,” ujar Fatimah.

Yazid takjub dengan sikap saudara perempuannya itu. Lalu dia mengambil kembali harta-harta Fatimah dan membagikan kepada orang-orang yang berhak.

Sikap Fatimah yang kaya beramal ini menempatkan namanya sebagai perempuan salehah yang taat kepada suami.

Dia juga dicatat sebagai istri pemimpin yang sederhana, dan selalu mendahulukan kepentingan umat.

Andaikan istri para pemimpin dan pejabat memiliki sifat sederhana seperti Fatimah, niscaya perilaku korup dan hidup bermewahan dapat diminimalkan.

Masa muda Fatimah penuh dengan kesenangan. Dia menyukai sastra, dan memiliki wawasan sangat luas. Kekayaannya melimpah, karena dia putri seorang khalifah besar di masa Bani Ummayah.

Saat itu, kekuasaan yang dipegang ayahnya sangat luas meliputi negeri Syam, Irak, Yaman, Iran, sampai ke arah timur. Kekuasaannya meluas hingga ke Mesir, Sudan, Aljazair, Tunisia hingga Spanyol.

Fatimah memiliki empat saudara pria yang semuanya menjadi khalifah Islam, yaitu Khalifah Al-Walid, Khalifah Sulaiman, Khalifah Yazid, dan Khalifah Hisyam.

Ketika menikah dengan Umar bin Abdul Aziz, Fatimah dibekali ayahnya banyak perhiasan. Di antaranya anting-anting yang diberi nama anting Mariah sebagai sumber inspirasi para penyair dalam menggubah lagu di zaman itu.

Ketika menjadi istri khalifah, sebenarnya kemewahan dan harta yang dimiliki Fatimah bisa lebih melimpah lagi. Namun, ia tidak mau memanfaatkan jabatan suaminya. Dia memilih hidup sederhana daripada menjadi budak nafsu kemewahan dunia.

Dia sadar, harta dan kekayaan bagaikan air garam. Semakin diminum, akan semakin haus, merasa kurang dan kurang terus. Umar pun bangga terhadap sikap istrinya ini. Jangankan menyuruh suaminya korupsi, uang belanja sehari-hari yang diberikan hanya beberapa dirham selalu dibilang cukup.

Sikap sederhana dan keikhlasan Fatimah membuat Umar tenang bekerja memimpin pemerintahan. Fatimah yang cerdas selalu mendukung program kerja suaminya yang selalu memikirkan kesejahteraan umat.

Maksud Umar ketika menyimpan harta dan perhiasan istrinya di Baitul Mal tidak lain untuk kepentingan rakyat. Jika kondisi mendesak, harta-harta tersebut bisa dijual, lalu uangnya digunakan untuk keperluan masyarakat miskin.


Source: republika.co.id